Ketika fajar merekah, seluruh penduduk Langgur mengetahui kehadiran pasukan Jepang di pusat misi. Para misionaris dan para suster dipaksa berkumpul di depan Kapel MSC Langgur. Uskup Mgr Johannes Aerts diminta duduk di kursi yang disediakan, demikian juga Pater Bern yang tengah sakit. Para misionaris lain yang sempat mengenakan jubah hitam dipaksa berjongkok menghadap pasukan Jepang.
Pasukan Jepang mulai menginterogasi para misionaris melalui seorang penerjemah. Sang komandan Nippon langsung menanyai seluruh anggota misi.
Berikut cuplikan interogasi yang ditulis oleh saksi hidup, Philipus Renjaan, putera Langgur yang kelak mendapatkan bintang jasa dari Vatikan.
Jepang: Maksud apa kamu datang di sini?
Uskup: Kami datang di sini melulu demi kepentingan agama dan untuk mengajar penduduk di sini mengenal Tuhan serta menghormati pemangku kekuasaan. Selanjutnya untuk mendidik anak- anak dan kaum muda, menolong yatim piatu dan orang sakit.
Jepang: Bohong! Kamu datang untuk menghisap darah dan bikin susah rakyat Indonesia. Mengapa rumah kamu bagus, sedangkan rumah rakyat buruk? Kamu hanya memikirkan diri sendiri dan membiarkan orang Indonesia miskin dan bodoh
Pastor Bern: Segala tuduhan itu tidak benar. Rumah yang bagus bukan untuk kami, melainkan untuk agama dan bangsa di sini. Segala kebutuhan rumah, kami beli sendiri. Orang yang bekerja kami bayar gajinya. Lebih dari 400 anak Indonesia yang tinggal di rumah ini, dididik dengan baik serta diajarkan rupa-rupa ilmu. Rumah sakit, rumah lepra dan rumah piatu dibangun untuk membantu penduduk setempat.
Jepang: Bohong. Diam! Adakah senjata api di sini?
Uskup: Kami tidak simpan senjata api. Kami tidak ikut campur perkara perang. Kami hanya kerja untuk Allah dan agama.
Jepang: Banyak bohong. (Sambil memperlihatkan dua senapan rusak yang diambil dari bengkel besi.)
Uskup: Itu senapan rusak.
Jepang : Bohong. Kamu punya uang dan makanan?
Uskup: Masih ada persediaan sedikit dari Austaralia, tetapi hampir habis.
Jepang: Kapan kapal Australia datang?
(Uskup memberitahukan tanggal kedatangan pesawat udara. Bruder van Schaik ikut memberi informasi.)
Jepang: Kamu juga tulis surat ke Australia?
Uskup: Kami tulis surat kepada Delegat Apostolik di Australia untuk membantu pastor yang diinternir di Ambon. Hanya itu.
Jepang: Tulis semua nama orang Belanda di sini.
(Pastor Bern lalu menulis nama, umur dan pekerjaan biarawan biarawati berkebangsaan Belanda.)
Jepang: Baca nama nama itu.
(Setelah dibacakan, komandan Jepang melanjutkan) Kamu semua harus ikut ke Ambon supaya diinternir di sana.
Uskup: Kami datang bukan untuk tujuan politik dan perang, hanya untuk Allah dan agama dan untuk keselamatan penduduk di sini.
Jepang: Kami tidak perlu Allah dan agama. Kami datang untuk usir Belanda dari Indonesia. Kamu harus ikut berangkat.
Uskup: Kami mau hidup dan mati bersama orang- orang di sini. Itu janji kami pada Tuhan Allah, sehingga kami tidak akan meninggalkan Kei. Ambil saja apa yang kalian perlukan. (Sementara itu datanglah seseorang bersepeda, menyampaikan surat. Surat itu lalu dibacakan dengan nyaring.)
Jepang: Jika benar apa yang ditulis dalam surat ini, kamu semua harus dipotong lehernya. (Ancaman itu disampaikan berulang-ulang.)
Uskup: Aturlah menurut apa yang kamu tahu tentang peraturan perang internasional.
Jepang: Pastor dan suster asal Jerman tunggu di rumah susteran. Tuan tuan yang berasal dari Belanda, ikut saya. Serahkan semua kunci perumahan.
Detik-detik kematian para misionaris sungguh menyayat hati. Bapa Uskup dan para misionaris digiring ke rumah pusat misi dekat pantai. Tak lama kemudian mereka dibawa keluar dengan mata tertutup kain putih. Mereka ditarik dan didorong ke arah pantai, di sebelah Barat dermaga. Mereka diatur membentuk satu barisan menghadap darat.
Pada detik itu, terdengar seruan dari mulut Pater Berns. ”Untuk Kristus Raja Kita.” Serentak para misionaris menjawab,
“Jadilah.” Beberapa detik kemudian, terdengar berondongan senapan para serdadu Jepang. Semuanya jatuh tersungkur ke pasir, tidak bernyawa.
Para penduduk yang hadir saat itu, diperintahkan oleh pasukan Jepang untuk menyeret jenazah ke laut. Bruder van Schaik sempat mengucapkan sesuatu, sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Serdadu Jepang mengancam, barang siapa berani menguburkan mayat “orang-orang jahat” ini akan ditembak mati.
Selama dua hari mayat- mayat itu terapung-apung di pantai Langgur.
Tragedi pembunuhan ini diketahui oleh pihak Vatikan yang lalu melayangkan protes keras kepada pemerintah Jepang.
Sabtu, 1 Agustus 1942
Menjelang malam, umat pemberani Amandus Narwadan nekad mengumpulkan jenazah- jenazah di laut bersama Ludofikus Savsavubun, Marselus Lefaan dan Izak Renwarin. Ludofikus ditugaskan mengawasi patroli jepang dan mata matanya. Kawan kawan lain mulai mencari jenazah Uskup Aerst dengan was-was. Dibantu Amandus Narwadan dan kawan-kawan, jenazah Mgr Aerts berhasil ditarik ke darat oleh Suster Agnes Maturbongs MM, Suster Aloysia Resubun MM. Mgr Aerts adalah pendiri Tarekat Maria Mediatix di Langgur.
Dengan sembunyi-sembunyi jenazah Uskup Aerts lalu dibersihkan secepatnya dan dibungkus dengan pakaian yang ditarik begitu saja dari Sakristi susteran Maria Mediatrix. Para suster berinisiatif mencari tempat darurat meletakkan jenazah Tuan Terhormat itu. Mereka menemukan sebuah pohon jeruk di halaman depan susteran.
Di situlah jenazah uskup dimakamkan dengan khidmat bercampur ketakutan. Di atasnya ditutup sehelai atap yang diacak-acak untuk mengelabui Jepang.
Minggu, 2 Agustus 1942
Banyak umat mulai membantu mencari jenazah. Pada Minggu pagi, Raja Agustinus dari Langgur memberanikan diri mengajak umat Langgur memakamkan semua jenazah yang ditemukan.
Tanpa dikomando, para suster dan umat Langgur mencari kain untuk membungkus jenazah. Penguburan dilakukan terpisah di beberapa lokasi karena keterbatasan tempat.
Sebagian dikuburkan di tanah penuh timbunan serbuk gergajian kayu. Dengan penuh kewaspadaan, pemakaman berjalan khidmat untuk menghormati para gembala iman Langgur.
Para martir MSC di Langgur, Maluku, Indonesia:
- Mgr. Joannes Aerts MSC
- P. Hendricus Cornelissen MSC
- P. Gerardus Berns MSC
- P. James Akkermans MSC
- P. Fr. James Ligtvoet MSC
- Br. Johannes Joosten MSC
- Br. Hadrianus Peeters MSC
- Br. Cornelis Beyer MSC
- Br. Francis Raaymakers MSC
- Br. Gulielmus de Rooy MSC
- Br. Gulielmus Houdijk MSC
- Br. John van Schaik MSC
- Br. Theodorus Fülker MSC
- P. Frans de Grey MSC
Santo Tertullianus berkata, “Sanguis martyrum, semen christianorum.” Darah para martir menjadi bibit bagi Kekristenan. Semoga pengorbanan para martir membuahkan iman berlimpah.