RETRET BERTEMA CINTA MANUSIAWI DAN CINTA ILAHI HATI KUDUS DI LAWANG HADIRKAN PENDALAMAN ROHANI YANG MENDALAM
Lawang, Jawa Timur — Sebanyak 27 konfrater mengikuti retret rohani di Rumah Pembinaan St. Julie Billiart milik para Suster SPM di Lawang, Jawa Timur. Retret yang berlangsung selama beberapa hari ini dipandu oleh P. Johny Astanto dengan mengusung tema “Cinta Manusiawi dan Cinta Ilahi Hati Kudus”, yang diinspirasi dari ensiklik Dilexit Nos.

Hari I: Membuka Retret dengan Menyimak Konteks Zaman
Retret dimulai dengan konferensi pembukaan yang mengajak peserta melihat konteks yang menjadi dasar seluruh proses retret, yakni refleksi mendalam dari ensiklik Dilexit Nos karya Paus Fransiskus. Peserta diajak melihat dunia masa kini yang menggelisahkan dan menimbulkan banyak kegundahan. Paus Fransiskus merenungkan kondisi dunia tersebut dan mengajak umat kembali kepada hati sebagai pusat kehidupan—sesuatu yang dianggap mulai hilang dalam dinamika modern.
Hari II: Return to the Heart – Kembali ke Hati sebagai Pusat Kehidupan
Hari kedua mengangkat pentingnya kembali ke hati sebagai pusat kehidupan yang autentik, tempat keputusan lahir, serta sumber persekutuan. Peserta diajak melihat apa yang menggerakkan hati mereka dan di mana posisi diri masing-masing berada.
Retret kemudian mengajak peserta memahami situasi dunia sekarang, yang oleh sosiolog Zygmunt Bauman disebut sebagai Liquid Society. Masyarakat cair ini ditandai oleh ketidakpastian yang konstan, identitas yang berubah-ubah, hubungan sosial yang rapuh, perubahan cepat, dan ketidakstabilan institusi. Fenomena ini melahirkan berbagai dampak seperti munculnya “orang asing”, erosi komitmen, konsumerisme relasional, individualisme, fragmentasi komunitas, serta ketakutan akan perubahan dan ketidakrelevanan.
Akibatnya, muncullah krisis “hati yang mati rasa”, yaitu hilangnya kepekaan hati. Hal ini berdampak pula pada kehidupan para religius—makna hidup dan relasi menjadi dangkal, rutinitas menggantikan perjumpaan yang sejati, dan pekerjaan hanya berorientasi target. Aktivisme menjadi pengganti pertemuan pribadi, citra diri menggeser keaslian, dan kebisingan menyingkirkan keheningan. Semua ini menyebabkan hati terpecah dan kehilangan kesatuan batin yang diperlukan untuk mampu membedakan, mencintai, dan melayani secara autentik.
Paus Fransiskus mengajak umat untuk kembali memeluk hati sebagai sumber kehidupan, tempat di mana Allah dan diri sejati dapat ditemukan. Peserta diajak belajar dari Kitab Suci tentang makna hati dan bagaimana hati dapat dihangatkan kembali. Mereka juga diajak melihat Hati Kristus sebagai unsur pemersatu antara hati manusiawi dan hati ilahi, dengan peristiwa inkarnasi sebagai pusat permenungan. Pada akhirnya, peserta didorong untuk melakukan pembaruan diri dengan kembali ke hati dan menemukan kembali apa yang hilang dalam arus zaman.
Hari III: Sekolah Hati — Merenungkan Gestur dan Sabda Kasih Ilahi

Pada hari ketiga, peserta diajak melihat tindakan dan Sabda Yesus sebagai pernyataan nyata dari Cinta Ilahi. Dengan mempelajari gestur dan tindakan Yesus yang manusiawi sekaligus ilahi, peserta didorong untuk semakin terbuka dan memberi diri seperti Hati Yesus dalam semangat kenosis. Sikap, suka duka hidup bakti, serta perutusan disatukan dalam Hati Yesus.
Gestur kasih dipahami sebagai Kasih Allah yang aktif dan nyata. Kasih ini menjelma dalam diri Yesus yang dekat, tersentuh, dan dapat dirasakan. Melalui bahasa dan sentuhan, Yesus menampilkan Kasih Allah yang penuh belas kasih dan kelembutan. Hati Kudus Yesus dipahami sebagai sintesis seluruh Injil, yang tampak dalam tindakan dan Sabda-Nya. Hal ini terlihat melalui kekuatan sentuhan, tatapan yang mengakui martabat, dan pelukan yang inklusif.
Yesus menyentuh orang-orang yang ingin disembuhkan, membebaskan yang tertindas, serta menatap setiap orang tanpa syarat, memberikan penegasan martabat, undangan untuk berubah, dan sumber panggilan. Hati Yesus memberikan tempat bagi siapa saja dan memeluk mereka dengan kasih tanpa syarat.
Peserta diberi tantangan untuk menerjemahkan gestur Hati Tuhan dalam kehidupan sehari-hari melalui:
- Sentuhan liturgis — bahwa saat memberkati, menumpangkan tangan, dan memberi absolusi, seorang pelayan adalah tangan Tuhan.
- Pandangan pastoral — belajar menjumpai orang yang dipercayakan dalam pelayanan dengan melampaui tugas administratif dan sapaan rutin, menghadirkan kepedulian yang sejati.
- Pelayanan kedekatan — pergi ke pinggiran untuk bersentuhan dengan mereka yang miskin, lemah, dan tak berdaya.
Selain itu, peserta diajak menggunakan bahasa hati melalui pewartaan yang empatik, membangun keheningan batin untuk bersatu dengan Yesus, serta mendorong dan mengakui potensi orang lain. Hidup dari Hati yang tertikam berarti menghayati semangat pengorbanan, pengosongan diri, melaksanakan kasih yang aktif, serta menjadi sumber yang menghidupkan.
Hari IV: Devosi Hati Kudus Yesus sebagai Identitas dan Misi Gereja

Hari keempat berfokus pada pemahaman devosi kepada Hati Kudus Yesus sebagai ungkapan mendalam dari identitas dan misi Gereja. Peserta diajak untuk menimba semangat misi dari Hati Yesus dan menjadi Hati Yesus yang hadir di tengah dunia melalui komitmen pribadi.
Devosi Hati Kudus dianggap sangat relevan karena mengungkapkan inti identitas Kristiani: hidup dan mencintai dari Hati Kristus. Peserta juga diajak melihat makna baru dari tindakan reparasi—yakni bersama Kristus membangun peradaban kasih, melawan struktur dosa, memulihkan relasi, membangun kembali ikatan persaudaraan, serta mempersembahkan diri kepada kasih-Nya yang berbelas kasih. Mereka didorong menjadi pribadi yang bermisi, mewartakan kasih Tuhan kepada dunia.
Peserta juga diajak memperbarui hidup dan pelayanan dengan membangun intimitas dalam doa. Dengan memasuki ruang suci dalam diri dan bersatu dengan detak Hati Tuhan, peserta dapat menemukan kembali panggilan dan api misi mereka.
Hari V: Misi Compassio — Menjadi Saksi Kasih Allah bagi Dunia

Pada hari terakhir, peserta diajak berangkat dari pengalaman akan kasih Allah yang mendalam yang ditemukan dalam Hati Yesus. Dari sini tumbuh keyakinan bahwa Allah adalah kasih, dan bahwa hidup Kristiani dipanggil menjadi kesaksian terus-menerus akan kasih itu melalui pembagian kasih di antara saudara-saudari.
Peserta diundang untuk menjalankan Misi Compassio bagi dunia: berdoa, bergerak menghadapi tantangan umat manusia dan misi Gereja, serta memasuki culture of encounter atau budaya perjumpaan. Mereka diingatkan bahwa sebagai Misionaris Hati Kudus, hati mereka perlu menjadi seperti Hati Yesus—penuh kasih, lembut, dan dilandasi sukacita kebangkitan.
Misi Compassio dipahami sebagai esensi Allah yang menyerahkan diri secara sempurna dan total, melalui pengorbanan Putra Tunggal dalam kesatuan dengan Roh Kudus.
Selama retret, peserta mengikuti refleksi pribadi, communal discernment, sesi sharing kelompok, serta menerima kesempatan untuk pembaruan diri melalui rekonsiliasi dan pembaharuan komitmen pribadi.
Retret ini diakhiri dengan rasa syukur mendalam, ketika seluruh peserta kembali membawa pembaruan hati, kepekaan rohani, dan semangat misi yang diperkuat oleh perjumpaan dengan Hati Kudus Yesus.
